T Tindak pidana pencabulan terhadap anak dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk orang-orang terdekat, dan menimbulkan dampak psikologis serius seperti post-traumatic stress disorder (ptsd). berdasarkan pasal 2 undang- undang nomor. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, menegaskan asas kepentingan terbaik bagi anak, hakim mengabaikan pemenuhan restitusi. berdasarkan analisa dari putusan nomor 130/pid.sus/2023/ pn.situbondo, maka pokok permasalahan yang diangkat adalah 1) bagaimana anak korban tindak pidana pencabulan mendapatkan pemenuhan hak restitusi dalam putusan nomor 130/pid.sus/2023/ pn.situbondo menurut pasal 16 uu no. 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual dan 2) apa saja bentuk-bentuk restitusi seharusnya diterima oleh anak korban dalam tindak pidana pencabulan dalam putusan nomor 130/pid.sus/2023/pn.situbondo menurut pasal 16 uu no. 12 tahun 2022 tentang tindak pidana kekerasan seksual. metode penelitian pada penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif, bersifat deskriptif, menggunakan data sekunder dan data primer dengan studi kepustakaan serta wawancara sebagai pelengkap analisis, dianalisis secara kualitatif dengan penarikan kesimpulan menggunakan deduktif. hasil penelitian adalah putusan pengadilan negeri situbondo nomor 130/pid.sus/2023/pn.situbondo menunjukkan bahwa pemenuhan hak restitusi bagi anak korban pencabulan belum dijalankan secara optimal, meskipun telah terdapat bukti dampak psikologis berat pada korban. hal ini mencerminkan lemahnya implementasi uu no. 12 tahun 2022, khususnya pasal 16 dan pasal 30 ayat (2), yang mengatur hak restitusi korban kekerasan seksual. sedangkan, restitusi seharusnya mencakup ganti rugi atas kerugian ekonomi, biaya medis dan rehabilitasi psikologis, hilangnya kesempatan pendidikan, serta penderitaan mental dan sosial. restitusi tidak hanya sebagai kompensasi, tetapi juga sebagai bentuk pemulihan menyeluruh dan keadilan substantif bagi anak sebagai korban yang rentan.